Industri Migas Tetap Bertahan di Masa Sulit

Sektor minyak dan gas bumi (migas) masih menghadapi era sulit. Pemulihan di industri ini haruslah berpangkal dari sumber arus kas, yaitu harga minyak dan membeli modal (capex) perusahaan migas besar. Kejatuhan harga minyak yang terjadi sejak pertengahan 2014 udah memaksa perusahaan memangkas membeli modal di sedang tingginya biaya produksi. Kedua segi ini mampu jadi risiko yang mengancam pemulihan di industri migas di dalam jangka panjang.

Harga minyak yang rendah mengakibatkan perusahaan kesulitan untuk tingkatkan dana investasi. Saat ini harga minyak sebenarnya udah membuktikan tren kenaikan ke 45-50 dollar AS per barrel, lebih tinggi dari perkiraan awal th. 43 dollar AS per barrel Flow Meter LC.

Pada th. depan dan awal 2018, harga minyak diperkirakan bergerak di kisaran 50-55 dollar AS per barrel dan 60-65 dollar AS per barrel. Akan namun tidak enteng bagi sektor industri migas untuk membalik kondisi ini. DBS Group Research mencatat perbaikan harga minyak ini bergantung pada sejumlah segi kunci.

Antara lain, kesuksesan konsolidasi industri lewat sistem merger dan akuisisi, kapabilitas perusahaan migas besar tingkatkan membeli modal, peningkatan penggunaan dan penggunaan rig, hingga kapabilitas perusahaan kapal penunjang terlepas pantai melakukan penggantian kapal-kapal tua. Jika harga minyak sukses pulih, perusahaan yang bergerak di bidang eksplorasi dan produksi (E&P) akan segera menikmati hasilnya.

Sedangkan bagi perusahaan pengolahan (refining), kenaikan harga minyak mentah mampu turunkan margin keuntungan. Namun, penurunan berikut mampu ditutup dari stok yang melimpah yang dibeli pas harga minyak rendah.

Demikian pula bagi perusahaan penyedia jasa rig dan perkapalan yang belum mendapatkan sentimen positif dari tren kenaikan harga minyak. Keduanya masih menghadapi ketidakpastian keinginan di dalam 1-2 th. mendatang. Sementara di Indonesia, industri migas masih miliki daya tahan yang tinggi di sedang rendahnya harga minyak dunia.

Kontraktor kontrak kerja serupa (KKKS) migas menjalankan siasat efisiensi dan diinginkan mampu turunkan biaya produksi yang pas ini raih 25 dollar AS per barrel. Kemudian fokus pada blok migas yang beruntung dan menunda rancangan produksi blok migas berbiaya tinggi, terlebih di kawasan terlepas pantai (offshore).

Efisiensi, di sisi lain, menghimpit margin perusahaan jasa kontraktor dan dan kapal penunjang terlepas pantai dikarenakan menurunnya kontrak. Namun tantangan terbesar yang dihadapi industri berasal dari ketidakpastian politik dan kebijakan.

Pemerintah masih lambat melakukan reformasi tata kelola migas. Padahal di dalam kondisi pas inidukungan pemerintah amat dibutuhkan. Persoalannya, upaya pemerintah melakukan pembenahan pun belum optimal mendorong produksi migas nasional.